Seberkas sinar menerobos jendela
kamar, terus menyelusup masuk sampai jatuh ke retina dari celah-celah kelopak
mataku. Akh hari sudah subuh, mimpi indah semalam telah membuatku begitu
terpulas tidur. Kulangkahkan kaki dengan begitu beratnya menuju kamar mandi.
Gemericik air semakin menyadarkanku bahwa fajar memang sudah menyingsing. Shalat
subuh sudah kutunaikan, bergegas pergi
bermalas-malasan lagi di singgahsanaku, apalagi kalau bukan kembali ke
tempat tidur nan empuk ini. Pagi ini aku tak sarapan. Jadi, waktu sarapan ku
pakai untuk tidur sejenak.
Sudah pukul 6. 45 WIB waktunya aku
berangkat ke sekolah. Ets sebentar, sebelum itu aku merapikan kerudung terlebih
dahulu, melipat sisi sebelah kanan, lalu sebelah kiri dan mengaitkannya dengan
sebuah peniti warna merah, dan selesai. Tas sudah kugendong, sekarang tinggal
mengayuh sepeda. “Nanana..nanaa..” pergi ke sekolah sambil bersenandung,
bergurau dengan kawan, tertawa bersama. “Eh Bila awas nabrak kodoook...” teriak
temanku, sekejap ku belokkan setang sepedaku menghindar dari kodok itu. “La,
kamu puasa hari ini?” tanyanya padaku, “Puasa dong!” “Berarti nanti sore kita
bisa main sepeda bareng sambil nunggu adzan maghrib dong!” masih dengan
sepadaku, “ yah Bil, aku gak bisa. soalnya mau bantu-bantu ibu.”
Sebagai umat nabi muhammad setiap
hari senin dan kamis aku menjalankan puasa sunah. Kata guru ngaji, puasa senin
kamis itu bagus. Hari senin itu hari lahir nabi muhammad SAW. Sebagai umatnya
itu cara kita selalu ingat padanya. Sedangkan hari kamis, itu hari dimana buku
catatan kebaikan kita diserahkan pada yang maha kuasa. Katanya, pada waktu ini
kita di sarankan untuk puasa supaya malaikat tidak salah memberikan buku amal
kita, seperti ini “Ini buku amal si fulan yang sedang puasa itu!” jadi, ada
bedanyalah dengan umat yang lain. Emm percaya atau tidak percaya juga sih, masa
malaikat bisa salah? hehe. Aku hanya mengambil sisi positifnya saja. Puasa itu
suatu ibadah, dan ibadah adalah pahala.
Pukul 7.10 aku sudah tiba di gerbang
sekolah. Sorot mataku tertuju pada motor warna hitam di sudut parkiran itu. aku
hafal benar milik siapa motor itu. Ikhwan, itu motor ikhwan. Sekali, dua, tiga
kali aku pernah duduk di motor itu. Dia bukan siapa-siapaku, sekedar sahabat,
hanya saja aku selalu bahagia melihatnya. Ya, walau baru motornya saja yang aku
lihat. Mungkin, hari ini aku tak boleh melihat apalagi bertemu ikhwan,
karena aku sedang puasa. Bukankah orang
yang sedang puasa itu mulut, tangan, mata, telinganya, pokoknya seluruh anggota
badannya juga harus ikut dipuasakan? Karena setiap melihat ikhwan terasa ada
yang berbeda dalam hatiku. Ini bisa mengurangi pahala puasaku.
Tiba di kelas suara riuh sudah
terdengar dari kelas sebelah, tiba-tiba Heni menghampiri, menarik tanganku.
“Apa sih Hen?” ucapku padanya, “Ini loh Bil, aku punya berita bagus, kamu bisa
nyasel kalau gak mau dengerin aku!” “Iya, iya, apa, ada apa?” “Ikhwan...” “iyaa
Ikhwan kenapa?” “tadi aku denger Ikhwan udah punya cewek!” “Masa sih?” nada
suaraku menurun, “Beneran, aku denger tadi pagi dia bonceng cewek, cantik
banget. Kulitnya putih, bahkan Bil, saking putihnya, katanya sampai-sampai waktu
malam gelappun kulit yang putihnya itu bisa bercahaya lo! Hebat gak tuh!” tutur
Heni, “Oh..!” Walau aku tak menyukai Ikhwan, rasanya tetap ada rasa yang
menusuk hati ini, apa aku memang menyukainya? Bukan, aku hanya sekedar kagum
saja.
Pukul 10.00 sudah waktunya
istirahat, perutku terasa menggurutu. Masih terngiang ucapan Heni tentang si
cewek cantik itu. Rasa lapar bercampur patah hati berpadu jadi satu. Kuberlari
kepintu, ada sesuatu yang menyilaukan mataku terselubung cahaya putih. Oh, itu
Ikhwan, haruskah aku memalingkan mataku darinya? Jangan bilang iya, karena ini sayang
untuk dilewatkan. Selangkah, dua langkah ia terus mendekat menuju ruang
kelasku. Apakah dia ingin bertemu denganku? Pasti bukan. Fiuh,, benar saja,
tujuannya bukan untuk bertemu denganku melainkan bertemu dengan temannya,
ikbal. Baiklah sepertinya tak ada harapan yang menenangkan hati. Sebaiknya aku
pegi saja dari kelas ini, membosankan.
Akhirnya waktu yang di tunggu-tunggu
tiba juga, waktunya pulaaang. Jam sudah menunjukan pukul 2.00, menaiki sepedaku
dan bergegas pergi. Benar saja apa kata Heni, kali ini aku melihat dengan mata
kepalaku sendiri Ikhwan membonceng perempun lain. “Itu jok milikku,,,” jeritku
dalam hati, karena memang tak pernah ada perempuan lain yang duduk di jok itu
selain aku. Ikhwan kau tega padaku...
Siang ini matahari tak bersahabat
denganku, sengatannya begitu kejam kurasakan, semakin membakar hatiku yang
sedang panas. Di sepanjang jalan banyak penjual kaki lima yang menjajakan
dagangannya. Hatiku kepincut salah seorang penjual, penjual es buah. Siang ini
minum es buah pasti segar, manisnya sertawberi, dipadu melon, buah naga, leci,
jeruk, ditambah rumput laut yang renyah dan kenyal dan dinginnya es, pasti
dahagaku hilang. Sekaligus bisa menyejukkan hatiku yang sedang gersang ini.
Namun pikiran itu terganti dengan tempat mie ayam di ujung jalan, tepatnya di
bangku nomor dua, itu tempat aku biasa
makan dengan Ikhwan, hatiku semakin kacau saja. “Bila, kamu cuma sahabatan aja
sama Ikhwan, gak boleh lebih!!” hatiku beragumen. Sungguh ini rasa yang aneh,
baru kali ini aku merasakannya pada Ikhwan. Apa ini rasa cemburu?
Walah, perutku semakin memberontak,
bunyi-bunyian yang keluar sudah seperti bunyi orkestra yang sering dibawakan
bang juli saja setiap manggung. Mungkin ini efek karena semalam aku tak sahur,
lapaar. Jadi seperti inikah rasa orang yang tak pernah makan, yang biasa orang
miskin rasakan, menyedihkan. Ketika
sampai dirumahpun perutku masih saja bergejolak. Ku jatuhkan badan ini menuju
singgahsanaku, semoga saja ketika terbangun nanti perutku bisa tidak sakit
lagi.
Bukannya tidur, malahan aku memikirkan cewek
cantik itu. Alamak, teringat lagi kata-kata Heni. Memang saat tadi kulihat,
orangnya putih. Tapi apa benar, kulit putihnya bisa bercahaya saat gelap
gulita? sulit masuk akal. “Heni pasti terlalu lebay!” baiklah kupastikan siang
ini aku harus tidur dan saat terbangun nanti aku sudah merasa segar.
Pukul 3.47 saatnya bangun, tidur
siang satu jam sudah lebih dari cukup. Sekarang waktunya beres-beres, mandi,
shalat ashar dan berburu makanan sekaligus ngabuburit. Aku suka hal yang satu
ini. Biasanya waktu ngabuburit aku gunakan untuk menghafal ayat-ayat Alquran,
walau hanya 3 ayat saja yang ku hapal, namun cara ini jitu untuk menambah hapalanku.
Tapi ngabuburit kali ini kugunakan untuk main saja, soal omelan umi, itu
masalah belakangan.
Satu jam menuju kumandang adzan
maghrib, langit masih terang merona. Mega belum tampak sedari tadi. Sepertinya
matahari masih ingin melihatku tersenyum hari ini. Semerbak aroma makanan hilir
mudik mampir di hidungku membuat perut semakin keroncongan saja. Mulai dari
aroma ayam goreng, lele goreng, ayam bakar, sate. Duh, sungguh menggugah
selera. Bingung mau pilih yang mana, namanya nafsu orang puasa, pasti nafsunya
besar. Padahal, saat waktu berbuka hanya sedikit saja makanan yang masuk ke
perut. Sepertinya kujatuhkan pilihan pada sate, martabak, dan jus alpukat.
Yummy, ketiga menu ini serasa sudah masuk dalam kerongkonganku. Pasti nikmat
sekali.
Kejadian yang membuatku terpana sore
ini masih ketika di kios es buah, tak sengaja bertemu dengan Ikhwan, ya Allah
senyumnya manis sekali. “Mau beli apa Bila?” tanyanya padaku “oh, eh ini mau
beli jus alpukat, ngantri banget ya?” balasku agak kikuk, “Oh, iya..” ikh,
hatiku benar-benar aneh. Sekeluit asa bahagia menghampiri. Hatiku berbunga,
dahsyat sekali. Ikhwan kau orang yang
bisa membuatku bahagia sekaligus terluka. Gila memang.
Pukul 18.00 beberapa menit lagi
menuju waktu berbuka puasa, perut ku sudah bernyanyi tak merdu, sudah tak bisa
berkompromi lagi. Ku rebahkan badanku di sofa, nyaman sekali. Masih teringat
peristiwa di kios es buah tadi, akh Ikhwan.. senyummu itu manis meneduhkan,
merekahkan jiwa ku ini. Baru saja duduk, adik berteriak-teriak tak jelas “Apa
Dek?” “Ada SMS teh,” “Dari siapa?” “Gak tau!! Ini Hpnya” kubaca SMS masuk itu,
jantunggku berdentik, ada kata Ikhwan di sana. Ku tekan tombol oke, hpku
memproses perintahku itu sedikit lambat, ternyata pesan masuk dari Ikhwan cukup
panjang. Pesan itu aku baca perlahan, kata demi kata, perkalimat. Ya tuhan ini
mirip dengan surat cinta atau memang surat cinta? Surat cinta elektronik. Aku
baca perlahan, nafasku tercekat pada kata “ ,... sebenarnya aku udah pengen
bilang ini dari lama banget, tapi karena suatu hal aku baru bisa bilang itu sekarang. Bila, kamu itu
cewek yang beda dari cewek yang lain. Aku suka semua hal tentang kamu, cuek
kamu, perhatian kamu, senyum kamu, sampai cemberut kamu. Kamu pasti kaget aku
bilang kaya gini, tapi ini yang aku rasain setiap deket sama kamu,...” dadaku
terus berdegup kencang “Bila, i love you... will you become my girlfriend??”
Bibirku sedikit mengatup dan membentuk setengah lingkaran, hatiku terasa sejuk.
Namun aku bingung harus menjawab apa? Mungkinkah menjawab ‘i will’ atau ‘no’
aku benar-benar tak tahu.
Adzan maghrib berkumandang, waktu
berbuka puasa sudah tiba. Ikhwan, kau ta’jil buka puasaku, sungguh manis. Baru
kali ini aku merasakan ta’jil yang begitu teramat manis, entah kau dapatkan
darimana gula yang manis ini. Dari syurgakah? Bukankah syurga masih terkunci? Ahh
aku masih tak tau harus menjawab apa. Aku memang menyayangi dan sedikit
mencintai ikhwan, tapi aku tak begitu membutuhkannya berada di sampingku
sekarang. Kalau begitu, siapakah perempuan yang di bonceng ikhwan tadi? Ini
misterius, apa aku yang terlalu cemburu buta? Entahlah aku teramat bingung
dengan jawaban yang harus aku beri pada ikhwan.
Aku terkaget, ponselku berbunyi,
bergetar, tepat dalam genggamanku. Baiklah, masalah ikhwan aku kesampingkan
dahulu dan mengangkat panggilan masuk ini, entah siapa gerangan yang
menelefonku. Kugerakan lengan ini dengan lesunya, terlihat nama di layar
ponselku. Nama yang tak asing bagiku, entah kenapa aku amnesia sesaat. Aku
mengingat-ingat siapa dia? Dan ‘sreg’ sebuah folder terbuka dalam otakku. Ya
tuhan itu nomor Ikhwan yang lain, bagaimana bisa aku lupa dengannya? Apa
sebegitu luar biasanya kejadian ini bagiku? Sampai-sampai aku hilang ingatan.
Aku gugup, masih belum bisa memberikan jawaban yang tepat untuk Ikhwan. Tanpa
pikir panjang setelah ingat itu nomor ikhwan, aku mengangkat panggilan masuk
ini dan aku masih bingung untuk berkata “i will” atau malah “no”.
Tamat